Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia
Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi
manusia yang tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk
setiap warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah
(cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang. Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai
berikut:
Pra peradilan adalah wewenang pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 adalah diantaranya:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tesangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP
di atas berarti bahwa lembaga pra peradilan dalam dunia penegakan hukum di
negara kita selain untuk melindungi hak-hak asasi manusia khususnya dalam
bidang peradilan juga mengadakan pengawasan terhadap praktek pemeriksaan
perkara pidana khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan,
yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara pokoknya disidangkan oleh
pengadilan negeri.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu
tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada
tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, perkosaan
terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari seperti
salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga menjunjung
tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut,
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
Berkaitan dengan hal itu, ketentuan Pasal 9 Ayat
(3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa “ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti
kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam
undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di dalam KUHAP BAB X Bagian
Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya
menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru)
dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas
proses penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya
agung (master-piece) (Al. Wisnubroto
dan G. Widiartna, 2005: 7).
Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam
penerapan upaya-upaya paksa (dwang
midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti
penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka
diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra
peradilan. Jadi jelas sekali lembaga pra peradilan dimaksudkan untuk pengawasan
penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini
Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra peradilan ini dimaksudkan sebagai
wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara.
Berkaitan dengan hal di atas, implementasi
hukum acara pidana Indonesia pada hakekatnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa
kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum
pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai
pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan seseorang terjadi kasus salah tangkap. Dalam hukum acara pidana telah dijelaskan apabila terjadi kesalahan mengenai sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan (error in persona) dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka
tersangka atau keluarganya dapat mengajukan upaya pra-peradilan tentang
ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti
kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar