Teori-teori
tentang Kejahatan dari Perspektif Sosiologis
Teori-teori
sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam
lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
umum, yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya),
dan sosial control (kontrol sosial).
(Topo Santoso, Eva Achjani S 2001:55).
Perspektif
strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori-teori
strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan
sosial (sosial forces)
yangmenyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol
sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa
motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai
konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang
tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
a) Teori
Strain
Menurut
Durkheim satu cara dalam mempelajari
masyarakat adalah melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui
bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, jika
masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar
susunan-susunan sosial berfungsi. Maka masyarakat seperti itu ditandai oleh
keterpaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya
tertata dalam keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan
masyarakat itu dysfunctional (tidak
berfungsi). Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial
sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai). (Topo S & Eva A.
S, 2001:56-57)
b) Teori Penyimpangan Budaya (cultural deviance theories)
Teori
ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Tiga teori
utama dari cultural deviance theories
adalah sebagai berikut:
1.
Theory
Sosial Disorganization
Teori
ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi
yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan
oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. (Topo S
& Eva A. S, 2001:65).
2.
Theory
Differential Association
Teori
ini berpendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan
dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola-pola tingkah laku .
(Topo S & Eva A. S, 2001:66)
3.
Theory
Culture Conflict
Teori
ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduct norms (aturan-aturan yang
mengatur tingklah laku) yang berbeda, dan bahwa conduct norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan
aturan-aturan konvensional kelas menengah. (Topo Santoso, Eva Achjani S,
2001:66)
Ketiga
teori diatas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada kenyataannya
menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada norma-norma yang
menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan.
c)
Teori Kontrol Sosial
Menurut
teori ini penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau
pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap
manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum. Oleh karena itu, para ahli teori ini menilai
perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
mentaati hukum.
B.3
Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif lainnya
Teori-teori
dari perspektif lainnya ini merupakan suatu alternatif penjelasan terhadap
kejahatan. Para penganut teori menjelaskan kejahatan dengan melihat kepada
sifat-sifat pelaku atau kepada sosial. Mereka justru berusaha menunjukkan bahwa
orang menjadi bukan karena
cacat/kekurangan internal tetapaiu karena apa yang dilakukan oleh
orang-orangyang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam
sistem peradilan pidana. Berikut beberapa teori dari perspektif lain tentang
kejahatan:
1.
Teori
Sosialis
Teori
ini mengatakan bahwa penyimpangan
sebagai hasil dari proses belajar. Menurut Sutherland
penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas sikap
atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari
subkultural atau berada di lingkungan yang menyimpang.
Dan teori Asosiasi diferensial
dapat diterapkan untuk menganalisis:
v Organisasi
sosial atau subkultur
v Penyimpangan
perilaku di tingakat individual
v Perbedaan
norma-norma yang menyimpang ataupun yang tidak,
terutama pada kelompok atau asosiasi berbeda.
2. Teori
Labelling
Teori
Labelling menjelaskan penyimpangan
terjadi ketika itu sudah samapai pada tahap penyimpangan sekunder. Dalam
penjelasannya teori ini menggunakan pendekatan interaksionalisme yang tertarik
pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat
biasa. Teori ini menekankan pada pentingnya defenisi-defenisi sosial dan
sanksi-sanksi sosial negative yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu
untuk masuk dalam tindakan yang lebih menyimpang. (Topo Santoso, Eva Achjani S,
2001:96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar