Rabu, 13 Maret 2013

Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia


Pra-Peradilan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang. Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai berikut:
Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah diantaranya:
a.   Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;
b.   Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.   Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya   atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP di atas berarti bahwa lembaga pra peradilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita selain untuk melindungi hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang peradilan juga mengadakan pengawasan terhadap praktek pemeriksaan perkara pidana khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan, yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara pokoknya disidangkan oleh pengadilan negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berkaitan dengan hal itu, ketentuan Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di dalam KUHAP BAB X Bagian Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7).
Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan. Jadi jelas sekali lembaga pra peradilan dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara.
Berkaitan dengan hal di atas, implementasi hukum acara pidana Indonesia pada hakekatnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan seseorang terjadi kasus salah tangkap. Dalam hukum acara pidana telah dijelaskan apabila terjadi kesalahan mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan (error in persona) dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan upaya pra-peradilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP.

Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona)


Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona)
Pengertian mengenai istilah salah tangkap (error in persona) tidak terdapat dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teoritis pengertian salah tangkap (error in persona) ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari salah tangkap (error in persona) adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya (M. Marwan, 2009: 18).
Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus. Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya.
Menurut M.Yahya Harahap (2002: 47) menjelaskan bahwa kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan. Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditelaah bahwa terdapat berbagai macam istilah atau penyebutan terhadap kondisi atau keadaan dimana penegak hukum melakukan kesalahan atau kekeliruan pada saat melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Suatu gugatan dianggap error in persona, apabila:
1. Diskualifikasi In Person
Penggugat bukanlah persona standi in judicio, jika karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dan atau dibawah karatele. Atau bisa juga karena tidak mendapat kuasa, baik lisan atau surat kuasa khusus dan atau surat kuasa khusus tidak sah.
2. Gemis Aanhodanig Heid
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung No. 601 K/sip/1975 tanggal 20 April 1977 yang pada pokoknya menyatakan seorang pengurus yayasan digugat secara pribadi.
3. Plurium Litis Consortium
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan Mahkamah Agung No. 621 K/ Sip/1975 tanggal 25 Mei 1977 Jo. No 621 K/Sip/1975 yang menyatakan : "ternyata sebagian harta terperkara tidak lagi dikuasai tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.

Penangkapan dan Penahanan


Penangkapan dan Penahanan
1.   Penangkapan
Penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Definisi penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum  dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. 
2.   Penahanan
Penahanan  sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan  bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.
Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP antara lain:  
1.      Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;
2.      Untuk kepentingan  penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;
3.      Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.
4.      Syarat-syarat untuk dapat dilakukan  penahanan  dibagi dalam 2 syarat, yaitu:

a.   Syarat  Subyektif
Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat (1), yaitu:
1)   Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
2)   Berdasarkan bukti yang cukup;
3)   Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa: 
a)   Akan melarikan diri                                                                               
b)   Merusak atau menghilangkan barang bukti
c)   Mengulangi tindak pidana.
b.   Syarat Obyektif.
Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:
1)   Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
2)   Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
a)   Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:  Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal    378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
b)   Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
c)   Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 (Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak  punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang    asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
d)   Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan  Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.
Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diripada waktu yang ditentukan.

Penyelidikan dan Penyidikan


Penyelidikan dan Penyidikan
1.   Penyelidikan
Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 5 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima proposal, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima proposal dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini merupakan tindakan pendahuluan sebelum penyidikan. Jika dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini dimaksudkan sebagai tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran (Andi Hamzah, 2009 : 118).
Berkaitan dengan penyelidikan tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 5 KUHAP menjelaskan terdapat beberapa kewenangan penyelidik, antara lain:
a.       Menerima laporan atau pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana
b.      Mencari keterangan dab barang bukti
c.       Memeriksa seseorang yang dicurigai
d.      Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Tindakan penyelidikan lebih dapat dikategorikan sebagai tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Sebab tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah suatu tindak pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya. Apabila unsur-unsur pidanya tidak terpenuhi maka peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa dan tak mempunyai implikasi apa-apa.

2.   Penyidikan
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
Pengertian penyidikan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP di atas, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
a.    Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;
b.    Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c.    Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d.   Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya (Andi Hamzah, 2009: 135).
Ketentuan Pasal 7 KUHAP menjelaskan bahwa penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai berikut:
a.       Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
b.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c.       Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e.       Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.       Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g.      Memanggil orang untuk didengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.        Mengadakan penghentian penyidikan.
j.        Mengadakan tindakan lainmenurut hukum yang bertanggungjawab

Asas-Asas Umum dalam Hukum Acara Pidana Indonesia


Asas-Asas Umum dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Secara teoritis, menurut Simons (P.A.F. Lamintang, 1997: 11) menjelaskan bahwa hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. Jadi, hukum acara memuat ketentuan beracara pidana (hukum acara pidana)”.
Berkaitan dengan teri tersebut, Andi Hamzah (2009: 9) memberikan definisi bahwa:
“Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan hukum pidana formil. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara dalam proses peradilan pidana”.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hukum acara pidana di Indonesia maka dasar hukum acara pidana di Indonesia yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). KUHAP berisikan pedoman yang mengatur mengenai cara aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, maka dalam KUHAP guna menjiwai setiap Pasal atau Ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia memiliki asas-asas antara lain:



1.   Asas equality before the law
      Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya.
2.   Asas legalitas dalam upaya paksa
      Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dengan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
3.   Asas presumption of innocence
      Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dan/atau dituntut dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4.   Asas remedy and rehabilitation
      Ganti kerugian dan rahabilitasi bagi seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dan konsekuensi sanksi bagi pejabat penegak hukum yang dengan sengaja melakukan kelalaian tersebut.
5.   Asas fair, impartial, impersonal and objective
      Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak memihak.
6.   Asas legal assistance
      Hak untuk memperoleh bantuan hukum.
7.   Asas miranda rule
      Pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa.
8.   Asas presentasi
      Pelaksanaan pengadilan dengan hadirnya terdakwa.
9.   Asas keterbukaan
      Sidang terbuka untuk umum.
10. Asas pengawasan
      Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana.
11. Asas akusatur
Menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sekedar menjadi obyek pemeriksaaan namun sebagai subyek dengan hak-hak yang melekat padanya.
(Luhut M.P. Pangaribuan, 2008: 11).

Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana Indonesia


Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana Indonesia
Secara teoritis, menurut Simons (P.A.F. Lamintang, 1997: 11) menjelaskan bahwa:
Hukum pidana adalah ketentuan yang memuat peraturan-peraturan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri. Jadi, hukum pidana menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan”.
Berkaitan dengan teori di atas, dalam upaya penegakan hukum pidana di Indonesia maka dasar hukum pidana di Indonesia yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang merupakan dasar hukum umum dari seluruh peraturan perundang-undangan khusus. Undang-Undang ini dijadikan landasan dalam menjerat setiap pelaku tindak pidana.
KUHP berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukun Acara Pidana (KUHAP). KUHP mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum pidana dan hukumannya. Sedangkan KUHAP berisikan pedoman yang mengatur mengenai cara aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, maka asas-asas penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang pokok kekuasaan kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum pidana di Indonesia. Secara ringkas asas-asas tersebut sebagai berikut:
1.   Asas legalitas
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi (Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).
2.   Asas Lex Certa  atau  Asas Bestimmtheitsgebot
Dimaksudkan sebagai kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (Nullum Crimen Sine Lege Stricta) agar terwujud kepastian hukum.
3.   Asas Non Retroaktif  atau  Asas Lex Temporis Delicti
Menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif.
4.   Asas Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege Stricta
      Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan Undang-undang pidana.


5.   Asas Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege Scripta
Bahwa untuk memidana seseorang atau badan hukum harus berdasar atas hukum tertulis (written law), Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam Undang-undang pidana.
6.   Asas Territorial
      Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Asas ini diperluas lagi bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap oarang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam perahu Indonesia.
7.   Asas Personalitas (Nasional Aktif)
      Peraturan hukum Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
8.   Asas Perlindungan (Azas Nasional Pasif)
      Aturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan umum negara Indonesia, baik itu dilakukan warga negara Indonesia atau bukan, yang dilakukan di luar Indonesia.
9.   Asas Universal
      Peraturan-peraturan Hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri dan juga dilakukan oleh warga negara sendiri ataupun warga negara asing.
(P.A.F. Lamintang, 1997: 39).

Narkoba, Psikotropika dan Jenis-jenisnya


 Pengertian Psikotropika dan Jenis-jenisnya

C.1 Pengertian Psikotropika
            Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966). Obat psikotropika memiliki efek yang sangat luas. Istilah psikotropika mulai banyak di pergunakan pada Tahun 1971.
Menurut Hidayat sastrowardoyo (Hari Sasangka 2003:34) didalam   farmakologi,  obat-obat psikotropika digolongkan:
a.       Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu disusunan syaraf pusat (SSP).
1.      Obat golongan neuroleptika
Disebut juga obat antipsikotika adalah obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu,tanpa menekan fungsi- fungsi umum seperti berfikir dan berkelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti tipuan-tipuan dan pikiran-pikiran khayal (halusinasi) serta menormalisasi kelakuan-kelakuan yang tidak normal.
2.   Obat yang tergolong transquilizer
Adalah obat-obat penenang yang berkhasiat selektif terhadap terutama bagian otak yang menguasai emosi-emosi kita, yakni sistim limbis.
b.      Obat-obat yang menstimulir (merangsang) fungsi-fungsi tertentu disusunan syaraf pusat (SSP).
1.   Obat golongan anti depresiva
Adalah obat-obat yang dapat memperbaiki suasana jiwa (“mood”) dan dapat menghilangkan atau meringankan gejala-gejala murung,yang disebabkan oleh kesulitan-kesulitan sosial,ekonomi,obat atau penyakit.
2.   Obat golongan psikostimulansia
Obat-obat ini berkhasiat mempertinggi inisiatif, kewaspadaan serta prestasi fisik dan mental,rasa letih dan kantuk ditangguhkan.suasana jiwa dipengaruhi silih berganti, sering kali terjadi euhporia (rasa nyaman),tak jarang disforia (rasa tak nyaman) bahkan depresi tak layak digunakan sebagai anti depresivum.Termasuk kelompok ini adalah amfetamin-amfetamin,metilvanidad,fenkamin dan juga kofein (lemah).
Menurut Sardjono. O. Santoso dan Metta Sinta Sari Wiria, (Hari Sasangka 2003:68), pembagian psikotropika yang lain adalah:
c.       Obat anti psikosis (minor transquilizer, neuroleptik);
d.      Obat anti antiensietas / anti kecemasan (minor transquilizer, antineurosis);
e.       Obat anti depresi;
f.       Obat psikotogenik, yaitu obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku, disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir dan perubahan alam perasaan. Obat ini kadang-kadang disebut obat halusinogen.
Pasal 3 UU No.5 Tahun 1997, disebutkan lebih lanjut, bahwa tujuan pengaturan Psikotropika adalah:
1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Pasal 1 angka 1 UU No.5 tahun 1997  pengertian psokotropika terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum ,bahwa : Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
C.2  Jenis-jenis Psikotropika
1.      STIMULAN
         Dalam Farmakologi menurut M. Ridha Ma’roef (1976:45) bahwa “Golongan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf, obat-obat tersebut digunakan untuk daya konsentrasi dan aktivitas mental dan fisik”.



Adapun obat-obatan yang termasuk stimulan antara lain sebagai berikut :
a.       Amphetamine (Amfetamin)
            Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 46) Bahwa “Amfetamin ditemukan oleh OGATO dari jepang pada tahun 1919. Amfetamin pertama kali di gunakan sebagai obat asma, yang pada waktu iu untuk menggantikan Ephedrine”.
Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 46) bahwa Kegunaan amfetamin dalam medis adalah :
1. Untuk gangguan pemusatan perhatian / hipersensitivitas pada anak.
2. Untuk gangguan depresi
3. Untuk menghilangkan rasa lelah
4. Untuk mencegah serta menghilangkan rasa shock pembedahan
5. Untuk mengurangi nafsu makan.
              Karena amfetamin mempunyai efek samping yang tidak menguntungkan seperti: memperbanyak suasana jiwa bahkan depresi setelah pemakaian dan bersifat adiktif (membuat ketergangtungan), maka penggunaan sebagai anti depresi tidak di anjurkan.
b.      Ecstacy
 Ecstacy merupakan salah satu jenis psikotropika yang bekerja sebagai perangsang. Zat tersebut banyak disalah gunakan di Indonesia terutama oleh kelompok remaja dan kalangan eksekutif.
Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 49) bahwa : Ecstacy berbentuk tablet, kapsul atau serbuk. Dalam penggunaannya bisa diminum dengan air atau dihirup lewat hidung. Setelah 40 menit setelah ditelan, obat ini langsung menyerang susunan syaraf pusat (SSP), yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Ecstacy membuat pemakai merasa percaya diri, riang, dan merasa gembira. Karena ecstacy dibuat dengan bahan dasar amfetamin, maka efek dan akibat yang ditimbulkan juga mirip dengan amfetamin.
c.       Shabu
Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang mempunyai sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan. Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang mempunyai sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan Amfetamin yang lain. Penyebaran shabu yang marak Karena obat ini bisa dibuat dengan mudah di laboratorium-laboratorium illegal dari bahan-bahan yang relative murah.
Cara penggunaan shabu adalah: Karena shabu mudah hancur pada suhu tertentu, sehingga cara pemakaiannya sering diuapkan atau dihisap. Pemakaian yang unik, yakni dibakar di atas kertas timah dan dihisap melalui alat yang disebut “Bong”. Cara lain dengan dirokok sebagai campuran tembakau, suntikan atau dihirup melalui hidung. Dengan cara ini, zat akan diserap di paru-paru dan efek yang ingin dicapai (high) akan bertahan lebih lama.
Di samping efek yang menyenangkan menurut  M. Ridha Ma’roef (1976 : 52) bahwa pemakaian shabu sering  menyebabkan pemakai :
a.       Bertindak agresif, kasar dan menyerang;
b.      Cemas, depresi, bingung dan sulit tidur;
c.       Lama tidurnya, kerap jungkir balik, semalaman tidak tidur, siang baru tidur;
d.      Paranoid atau kecurigaan yang tidak berdasar.
Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 52) Dalam jangka panjang penggunaan shabu akan menimbulkan :
a.       Gangguan serius pada kejiwaan dan mental;
b.      Jantung (denyut jantung tidak teratur);
c.       Pembuluh darah rusak.
2.         DEPRESIVA
            Menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) bahwa “depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SPP yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai”.
 Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang, ada rasa tenang dan nyaman yang kemudian mungkin membuat seseorang tidur. Di dalam medis menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) biasanya obat-obat depresiva dipergunakan untuk:
1.             Membuat tenang pasien, karena mengurangi rasa cemas (gelisah) dan meredakan ketegangan emosi dan jiwa;
2.             Membantu pasien untuk memudahkan tidur;
3.             Membantu dalam proses penyembuhan darah tinggi;
4.             Pengobatan pasien dalam kasus epilepsy (ayan).
Adapun obat-obatan yang biasa dilihat dan termasuk jenis depresiva adalah sebagai berikut:


a.      Barbitura
            Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 56) bahwa
Barbitura Berfungsi menekan/depresi terhadap SSP, semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi (meredakan), hypnosis (menidurkan), berbagai tingkat anaestesi (membuat tidak sadar), koma (pingsan) sampai kematian.
            Lebih lanjut  Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 57) Penggunaan barbitura dalam medis untuk :
1)      Sebagai obat tidur;
2)      Untuk menenangkan;
3)      Untuk pengobatan penyakit epylepsi (ayan).
b.      Benzodiazepin 
Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003 :86) mengemukakan bahwa sebagian besar Benzodiazepin yang ada dipasaran dimanfaatkan khasiatnya, sehubungan dengan kemampuan mendepresi SSP.
Secara umum benzodiasepin di dalam medis (Hari Sasangka 2003: 86) dipergunakan untuk:
1)      Pelemas otot
2)      Mengobati insomnia (sulit tidur)
3)      Mencegah kecemasa, yakni pengurangan terhadap rangsangan emosi.
3.      HALUSINOGEN
Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003: 86) bahwa: Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan maupun perasaan”. Dengan kata lain obat-obat jenis halusinogen memutarbalikan daya tangkap kenyataan obyektif.
Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003 :87) efek-efek setelah pemakaian halusinogen adalah :
1)      Rasa khwatir yang kuat
2)      Gelisah dan tidak bisa tidur
3)      Biji mata yang membesar
4)      Suhu badan yang meningkat
5)      Tekanan darah yang meningkat
6)      Gangguan jiwa berat
Setelah pemakaian, seseorang akan merasa tenang dan damai dalam dalam sesaat sesudah itu menjadi murung, ketakutan atau gembira berlebihan.
Psikotropika termasuk zat adiktif dalam arti zat tersebut dapat menimbulkan adikasi yaitu ketagihan atau ketergantungan yang semakin lama tanpa disadari akan selalu meningkat takaran atau dosisnya mungkin sampai pada tingkat dosis keracunan, yang dapat menyebabkan kematian. Zat ini memiliki empat sifat utama, yaitu:
1.      keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya
2.      ketergantungan untuk menambah takaran sesuai dengan toleransi tubuh
3.      apabila pemakaian zat tersebut dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, depresi, dan gejala psikis negatif lain pada pemakai
4.      apabila pemakaian zat ini dihentikan, akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat. (Sulchan, 1999:39)
Karena dampak seperti di atas maka penggunaan psikotropika harus di bawah pengawasan dokter secara ketat. Akibat yang ditimbulkan bagi para penyalahguna psikotropika yang sudah ketagihan antara lain:
a.       Secara fisik
Rusaknya organ-organ tubuh seperti sel-sel saraf otak, jantung, ginjal, lever, menyebabkan stroke, mudah tertular virus HIV, pendarahan otak, sex bebas, dan bahkan mengarah pada kematian.
b.      Secara psikis dan tingkah laku
Daya ingat dan daya pikir menurun, emosi tidak stabil, malas, sukar tidur, suka bohong, suka mencuri, lamban, masa bodoh, konsentrasi menurun.
c.       Terhadap masa depan
Drop out, keluar dari pekerjaan, dia akan bersifat apatis, yakni sudah tidak ada perhatian terhadap diri, lingkungan, apalagi masa depannya.
d.      Secara materiil
Pecandu psikotropika harus mengeluarkan uang minimal Rp. 60.000/ hari untuk membeli barang haram tersebut, menjual habis barang- barangnya dan untuk memenuhi tuntutan jasmani maupun kebutuhan akhirnya terlibat ke dalam jaringan peredarannya. (Sulchan, 1999:23)
Kesimpulannya efek samping yang ditimbulkan oleh para penyalahguna psikotropika secara fisik akan membahayakan jiwa. Sedangkan efek lainnya adalah selain penghancuran secara fisik, tetapi juga menimbulkan penghancuran ekonomi, budaya, bahkan kelangsungan masa depan sebuah bangsa. Sebagai contoh akibat penyalahgunaan psikotropika, seperti penggunaan ecstasy dapat menyebabkan terjadi kelelahan, mimpi buruk pada malam hari, makan berlebihan, mudah sedih, putus asa, sampai akhirnya bunuh diri.
Atas dasar itulah peredaran dan penyalahgunaan psikotropika menjadi kian marak, ditambah lagi dengan banyaknya kelompok dan orang- orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan cepat dan menjadikan peredaran serta perdagangan secara gelap psikotropika, dengan segala bentuknya sebagai jalan pintas memperoleh kekayan secara instant.
Perdagangan gelap ini dilakukan oleh organisasi kejahatan yang bersifat internasional, yang sangat rapi, cepat, dinamis, bersifat rahasia, dengan modus operandi dan teknologi canggih dengan melibatkan perputaran dana yang besar termasuk pengamanan hasil-hasilnya. Bahkan diantaranya sampai memiliki pasukan pengawal bersenjata yang terlatih, profesional, dan mampu bertahan menghadapi kekuatan hukum pemerintahan yang resmi dari suatu Negara.